Thursday, December 3, 2009

Sudahkah Orang Muda Dayak Berkarya???


Orang Muda, demikian mereka menyebutnya.
Tapi, apa yang bisa dilakukan orang muda? Dengan segudang idealisme, semangat dan jiwa pantang menyerah, orang muda diharapkan menjadi motor perubahan.
Pertanyaannya, sudahkan orang muda berkarya??? Harapannya sudah. Jika belum, harapannya mereka memulai, jika sudah memulai harapannya melanjutkan, jika sudah melanjutkan sebaiknya semakin menyempurnakannya agar sukses dikemudian hari.
Orang muda adalah agen perubah, penentu kebijakan dimasa yang akan datang, Pejuang untuk kehidupan kaum terpinggirkan agar menjadi lebih bermartabat.
Itulah pesan yang muncul dari diskusi publik yang di gagas oleh LSD di Jogjakarta beberapa waktu lalu.
Hadir dalam diskusi tersebut Ibu Carol dan Bpk Elias Ngiuk sebagai narasumber. Ibu Carol adalah representasi tokoh muda Kalimantan yang berhasil menjejakkan kaki di Senayan. Sedangkan Elias Ngiuk merupakan aktivis dan seniman yang berusaha mendorong para kawula muda untuk berkarya dan mencintai budaya lokal.

Mari terus berkarya sebagai orang muda, lakukan sesuatu yang berguna bagi banyak orang...
Terima kasih kepada Bu Carol dan Bpk Elias Ngiuk.

Salam hangat dari LSD.

-Tains Odop-

Monday, June 29, 2009

DAYAK:: IDENTITAS YANG TERPINGGIRKAN


“Mau makan direstoran,..Padang, bukan berarti harus ke Padang, semua ada disini kita tinggal menikmati. Mau makan buah pisang..Ambon, bukan berarti harus ke Ambon. Mau makan sayur Gudeg..Jogja, bukan berarti harus ke Jogja.” (cuplikan syair lagu Enno Lerian).
“Ada orang Batak, ada orang Jawa, ada orang Sunda, ada orang Ambon,ada orang Madura...Nggak disebut jangan marah.” (cuplikan syair lagu ProjetPop).
Jika kita hidup diabtara tahun 1990an-2000an, kita semua pasti pernah mendengar syair kedua lagu tersebut, apalagi dimasa sekarang dimana televisi, radio, VCD dan komputer sudah masuk kedalam keseharian kita, lagu-lagu tersebut terasa tidak asing dan amat mudah diingat. Penggalan syairnya sederhana, biasa dan mungkin hanya kebetulan saja. Tapi ada pesan yang bisa kita tangkap dari petikan syair itu bahwa dalam wawasan masyarakat umum, orang Kalimantan (terutama Dayak) tidak populer dalam ciri dan identifikasi yang layak diungkapkan, kecuali keprimitifannya, kanibalisme, penguasa hutan, pengayau dan udik. Demikian ungkap Iwan Djola di blognya www.iwandjola.blospot.com
Entahlah apakah itu sebagai sebuah kebetulan atau tidak, lagi-lagi pikiran kita menerawang kedalam, bertanya dan merenung “ada apa denganmu, orang Dayak?”. Bahwa orang Dayak yang menguasai sebagian besar pulau Kalimantan (bahkan 40% populasi suku-suku di Kalbar) dianggap tidaklah penting -jika tidak mau dibilang tidak ada- menjadi sebuah persoalan identitas yang mesti kita perjuangkan keberadaannya.
Dalam khasanah perjuangan bangsa dan tatanan sejarah Nusantara, nama suku Dayak memang menjadi bagian penting NKRI dimana pada masa lalu juga merupakan pejuang tangguh dalam merebut kemerdekaan dari pihak penjajah. Orang Dayak tergabung dalam gerakan perlawanan, turut serta dalam ikrar kesatuan Nusantara (Jong Kalimantan) sehingga diperolehlah Nusantara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Bahkan salah seorang tokoh Dayak sekaligus bapak pembangunan di Kalteng yang bernama Tjilik Riwut merupakan pahlawan nasional yang namanya tercatat sebagai pejuang kemerdekaan bagi NKRI.
Lagi… jika pernah melihat iklan Indomie yang dinyanyikan oleh salah seorang pemenang audisi televisi Indonesian Idol suku Dayak tidak muncul disana. Entah apakah karena penjualan produk Indofood (mie instan) di Kalimantan tidak laku keras sehinggga foto dan video orang berbusana Dayak tidak muncul disana ataukah memang orang Dayak tidak menjual dari sisi marketing.
Yang pasti, jika kita melihat lebih dalam dari syair lagu dan iklan diatas kita bertanya apa sebenarnya yang membuat orang Dayak tidak terekspos, tidak muncul kepermukaan dan hanya bermain didalam lingkarannya sendiri? Bagi saya ini merupakan representasi dari Identitas yang Terpinggirkan, sebuah identitas yang malu-malu tapi mau.
Diakui atau tidak, identitas kita dikancah nasional masih terpinggirkan, masuk dalam golongan kelas dua (jika tidak mau dipandang sebagai kelas tiga) dalam tatanan kehidupan sosial, politik dan ekonomi bangsa. Pandangan negatif masa lalu masih membekas dan menjadi bagian dari identitas jati diri keberadaan orang Dayak sehingga bagi orang lain suku Dayak tidaklah penting. Berbagai kalangan memang melakukan perjuangan agar identitas dan jati diri orang Dayak dikenal, agar kebudayaannya tetap lestari, namun ternyata apa yang telah diperjuangkan selama ini tidaklah cukup. Kita mesti bekerja lebih keras lagi, berbuat lebih banyak lagi dan menjadikan orang Dayak sebagai motor perubahan agar identitas asli orang Dayak tidak terus-terusan terpinggirkan.
Pada buku pertama saya yang dirilis tahun 2006 lalu, saya menekankan perlunya orang Dayak melakukan perubahan, Change or Die – Berubah atau Mati, demi membuat identitas ini muncul dan dikenal oleh kalangan yang lebih luas, bukan hanya dikalangan internal orang kita melainkan dikalangan yang lebih luas yakni bangsa ini. Representasi agar ekspos mengenai Dayak muncul penting kita galakkan, identitas sebagai masyarakat yang berbudaya, jujur dan pejuang tangguh harus menjadi bagian tidak terpisahkan pada jati diri orang Dayak. Dengan demikian kita bisa mengeliminir sedikit demi sedikit pandangan negatif yang menyebutkan bahwa orang Dayak itu primitif, Kanibal, Udik dan Pengayau. Yang diganti dengan orang Dayak adalah orang yang berbudaya, jujur dan tulus, baik dan bersahabat, cerdas, rajin dan pejuang tangguh.

Tains Odop; Penulis muda Dayak

Monday, May 25, 2009

Pertanyaan Mengenai Sape' dan kebudayaan Dayak


Pun Yoga Ruru Perdana
May 21 at 11:15pm
Salam kenal kepada saudara dayak borneo atau saya bs memanggil ap supaya lebih akrab..saya orang sumatera tepatnya dr propinsi lampung,saya pribadi sangat suka dgn kebudayaan kalimantan khususnya musik tradisionalnya yg dsebut sampe' atau sampek..sebelumnya saya minta maaf klo salah menyebutkan namanya..mungkin saudara bs membantu saya untuk memahami lebih jelas tentang kebudayan lokal setempat khususnya musik tradisionalnya..sebelum&sesudahnya saya ucapkan terima kasih..
Sent via Facebook Mobile




Dayak Borneo
Today at 9:17pm
Halo bung Yoga,
kami dari dayak borneo terutama mahasiswa yang sedang kuliah di jogja merasa tersanjung atas apresiasi anda terhadap kebudayaan kami terutama musik dan alat musik sapek'. Di kalimantan terutama suku dayak, alat musik ini menjadi salah satu ikon tradisi selain mandau dan perisai serta ukiran dayak. Sapek' sendiri merupakan alat musik petik yang dimainkan mengikuti nada tertentu, lazim digunakan untuk mengiringi tarian, nyanyian (rayah) dalam acara adat. walaupun Sapek menjadi salah satu ikon musik tradisional kebudayaan dayak, namun tidak semua sub suku dayak menggunakan sapek sebagai alat musik petik karena dalam khasanah budaya yang lebih keci,l orang dayak memiliki banyak alat musik tradisional.
Jika anda ingin mengenal lebih jauh kebudayaan kami mungkin bisa berkunjung ke basckamp di Jogja.
Demikian dulu, salam budaya.

Saturday, May 2, 2009

POLITIK KATAK DALAM TEMPURUNG


Politik Menempatkan Katak Dalam Tempurung Dimasa ORBA
Dimasa orde baru, perjuangan politik masyarakat Dayak diibaratkan sebagai katak berada didalam tempurung yang tidak mengenal dunia luar. Tokoh dan masyarakat Dayak mencoba berkoar-koar memperjuangkan hak dan aspirasi politiknya, namun tidak pernah terdengar dipermukaan. Kelasnya sebagai orang yang berkualitas dan penduduk asli Kalimantan tidak dipandang sebagai sebuah peluang untuk membangun Kalimantan. Justeru dianggap sebagai saingan politik yang harus ditekan dan ditelanjangi agar malu membawa berita gembira untuk rakyat Kalimantan. Manipulasi Data kependudukan, manipulasi anggaran pembangunan, korupsi proyek pembangunan dipedalaman, menjadi makanan sehari-hari oleh dinasti yang berkuasa. Kehidupan orang Dayak masa Orde Baru ibarat kehidupan rakyat Nusantara sebelum merdeka, terbelakang, terpinggirkan, dipandang kelas dua dan tidak diperhatikan. Sungguh sebuah system penjajahan oleh pemerintah dizaman yang sudah dianggap Merdeka itu sementara rakyatnya menderita.
Siklus nasib baik suku bangsa Dayak berada dilevel yang rendah dengan tingkat partisipasi yang minim, rakyat lebih memilih pergi ke Ladang dari pada menyoblos pemimpinnya pada saat Pilkada. Partisipasi yang rendah dengan tiada berimbangnya tokoh Dayak dalam peta politik lokal membuat sinisme dikalangan bawah Dayak menjadi-jadi. Bahkan didaerah tertentu, Dayak seperti tiada benih kehidupan. Di Sambas, Singkawang, Ketapang, Pontianak, orang Dayak hanya sebagai pelengkap dan penderita, adapun jika mereka turut berkecimpung didunia politik, itu tidak lebih karena harapan elit lokal untuk meraup suara Dayak pada Pilkada dan memenangkan mereka. Perlombaan menuju kursi pimpinan daerah hanya diikuti oleh kandidat yang non Dayak dan Incumbent, selebihnya minim partisipasi.
Tempurung yang dibentuk oleh pemerintah yang sedang berkuasa membuat katak-katak (Baca; Dayak) tidak mampu melompat keluar dan bersaing untuk memimpin Kalimantan, bahkan system penafian politik dibuat lebih hebat dari satu periode ke periode berikutnya. Tiap Pilkada selalu ada strategi baru yang diciptakan agar orang Dayak tidak cukup amunisi untuk bersaing dipentas politik lokal. Hal ini berjalan dan berlangsung cukup lama.
Barang kali baru dimasa reformasilah ada setitik harapan untuk orang Dayak berkecimpung total di perpolitikan daerah. Di era reformasilah kesempatan-kesempatan itu terbuka sehingga putra putri Dayak mulai berani muncul dan bersaing. Hasilnya, beberapa kabupaten yang dominan didiami orang Dayak mereka mampu memenangi Pilkada.
Pemecah dan masrjialisasi politik daerah yang diseting oleh pihak yang berkuasa juga makin menjadi-jadi. Isu Agama, Suku, Golongan sangat dominan disana sehingga persaingan mencari sosok pemimpin yang ideal bukanlah ukuran, yang menjadi tolok ukur adalah Suku apa, agama apa dan tinggal dimana. Kota dan kampung berkelahi dalam hal kemenangan dan identitas politik.

-tain odop, penulis muda Dayak, di Jogja.

Politik Rasis di Kalbar



Kepentingan utama yang selama ini tidak bisa dipisahkan dari isu perpolitikan di Kalimantan adalah kepentingan antara masing-masing suku. Ketika berbicara mengenai hal ini, bias kepentingan unum menjadi tidak fokus lagi, masing-masing tokoh akan menampilkan ego sukuismenya masing-masing. Kebudayaan politik primordial ini berkembang sejak zaman dahulu bahkan sebelum Indonesia merdeka ketika kerajaan-kerajaan di Kalimantan mulai berkuasa. Ras atau suku Melayu, Dayak, Cina (Tionghoa), yang notabene penghuni awal pulau Kalimantan, terutama Dayak dan Melayu masing-masing sudah sikut-sikutan dalam perjuangan identitas politik. Kerajaan Melayu yang menyebut dirinya Kesultanan Melayu sering menarik pajak dari masyarakat Dayak dimasa itu. Dayak tidak mempunyai kekuatan dalam struktur kesultanan karena dalam tradisinya orang Dayak tidak mengenal Kerajaan. Yang ada adalah struktur adat kampung dimana ketua adat, domong, pateh/patih dianggap sebagai orang paling berpengaruh dikampung. Rumah betang menjadi tempat utama mereka bersosialisasi, berpolitik, berbudaya dalam kesehariannya.
Ketika kerajaan-kerajaan Melayu berkuasa didaerah pesisir pantai dan muara sungai, masyarakat Dayak acap kali dijadikan sebagai ulun/kuli oleh penguasa kesultanan Melayu. Setiap tahun raja menarik hasil bumi dan hutan kepada orang Dayak melalui Domong dan Pateh suruhannya. Orang Dayak tidak bisa berontak karena struktur politik kerajaan yang diseting sedemikian rupa melalui aturan-aturan kesultanan yang cukup kejam. Walaupun secara teritori kesultanan Melayu tidak mempunyai kekuasaan utuh terhadap perkampungan Dayak, namun dalam beberapa hal pengaruh politik itu amat kuat.
Kesombongan dan keangkuhan kesultanan Melayu amat kuat sehingga mereka merasa sebagai saudara paling tua dan paling berkuasa. Akibatnya, orang Dayak semakin menjadi bagian kelas dua dan makin terpinggirkan. Ketika agama Islam mulai masuk kepulau Kalimantan, pengaruh ini semakin menjadi-jadi, pengotakan suku dan agama lebih kuat, simbol-simbol tertentu dalam kontek suku dan agama menjadi bagian dari sebuah identitas politik.
Pada era perjuangan merebut kemerdekaan dibawah kesatuan Nusantara, orang-orang Dayak dengan para panglima saktinya juga turut serta dimedan laga. Beberapa pejuang lokal tersebut bermandikan darah, menyerahkan nyawa demi kemerdekaan Indonesia. Masing-masing pahlawan dan pejuang Dayak yang sakti dan kebal bersatu, membaur dengan orang-orang Melayu untuk melawan penjajahan Jepang dan Belanda kala itu.
Setelah penjajahan berakhir dan Indonesia merdeka, kekuasaan daerah dengan struktur pemerintahan dibentuk sebagai NKRI, beberapa propinsi seperti Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat pada awalnya dipimpin oleh orang Dayak. Sebagai suku terbesar di Kalimantan, Dayak dipandang cukup kuat kala itu. Pengaruh Dayak masih didengar di Jakarta, bahkan oleh Presiden Sukarno Kalimantan Tengah sempat akan dijadikan pusat pemerintahan NKRI.
Perjuangan politik orang Dayak kembali meredup dan bahkan padam ketika orde lama digulingkan oleh kekuasaan Suharto dimasa Orde Baru. Suharto dengan tangan besinya memimpin Indonesia dan membuat kebijakan pemerintah yang sentralistik terpusat pada Jakarta. Seluruh daerah di Indonesia menjadi sapi perah bagi kekuasaan Jakarta. Situasi ini menguntungkan politik keagamaan bagi elit politik Melayu. Melayu yang notabene pemeluk Islam mengambil kesempatan seluas-luasnya untuk menguasai struktur pemerintahan daerah dan merebutnya dari kalangan Dayak. Persis semejak orde baru berkuasa kepemimpinan di Kalimantan diambil alih oleh orang Melayu dan Jawa yang sudah barang tentu memeluk agama Islam.
Era gelap bagi kepemimpinan dan kesempatan politik Dayak kembali terjadi. Kekuasaan pemerintah daerah kental dalam permainan kepentingan suku dan agama. Perekrutan tenaga kerja negeri, pembangunan infrastruktur, kesempatan dibidang pendidikan, pembangunan jalan dan penerangan, pergerakan ekonomi menjadi mandeg dan tidak berkembang. Dayak kembali menjadi mainan politik dan boneka kekuasaan. Suara orang Dayak hanya dipakai dikala pilkada, itupun untuk meluruskan jalan kekuasaan. Tokoh Dayak hanya sebagai pendamping dalam tiap even pemilihan kader daerah tanpa pernah memiliki kesempatan diurutan pertama perpolitikan. Partai-partai yang berkuasa kala itu merupakan biang kerok sistem yang rusak bagi tokoh Dayak. Posisi elit partai politik diisi oleh orang non Dayak sehingga otomatis menutup kesempatan Dayak untuk mengusung calon sebagai pemimpin daerahnya.
Tarik menarik kepentingan dalam balutan suku dan agama ini berlangsung lama semejak kekuasaan Suharto berjalan, orang Dayak sekali lagi hanyalah sebagai pelengkap alat politik layaknya orang Tionghoa, Batak, Banjar, Madura dan Bugis. Jawa dan Melayu mengambil alih kekuasaan puncak dan memegangnya dengan erat sehingga kesempatan untuk suku lain amat tertutup. Sentralisasi kebijakan, partai terpusat yang dikuasai oleh Golkar dan isu agama manjur diterapkan di bumi Kalimantan. Dayak lagi-lagi terpinggirkan dan hanya menjadi penggembira.
Masa cerah perpolitikan Dayak Kalimantan kembali hadir setelah pemerintahan orde baru berakhir dengan digulingkannya presiden Suharto dari tampuk pemerintah Indonesia. Dizaman yang dikenal sebagai Era Reformasi ini, peluang dan kesempatan itu muncul lagi. Reformasi yang terjadi di Indonesia memungkinkan sistem pemerintahan daerah juga berubah, peta politik juga mulai terbuka dengan tokoh-tokoh elit lokal yang semakin banyak. Parpol yang menjadi pintu masuk bagi tokoh lokal untuk memimpin daerahnya kembali terbuka. Golkar tidak lagi sebagai partai yang bertangan besi karena ada partai pesaingnya seperti PDIP, Demokrat, PDI, PPP, PDS, dan partai-partai kecil lain. Persaingan kembali muncul dan kesempatan semakin terbuka. Zaman reformasi juga memberi kesempatan kepada etnis diluar Melayu, Dayak dan Jawa untuk berkompetisi. Tionghoa, Madura, dan Batak juga berkesempatan untuk tampil dipanggung politik. Di Kalbar wakil Gubernur dimasa reformasi berasal dari entis Tionghoa yang merupakan sejarah baru dapal catatan politik Kalimantan bahkan mungkin di Indonesia.
Hasil pemilihan Gubernur cukup membanggakan bagi sejarah perpolitikan orang Dayak, di Kalimantan Tengah tercatat nama Teras narang, di Kalimantan Barat muncul Cornelis MH dengan wakilnya dari etnis Tionghoa. Bak perubahan politik yang besar, dibeberapa daerah kabupaten mulai bermunculan tokoh-tokoh politik dari kalangan etnis Dayak, beberapa diantaranya mampu menang dalam Pilbup beberapa tentu saja tidak.

Identitas Politik DAYAK Bagai Buah Durian
Dimasa reformasi dimana kesempatan untuk terjun dipanggung politik lokal makin terbuka, tokoh-tokoh Dayak bermunculan dan masing-masing ingin menjadi pemimpin nomor satu. Entah apakah ini akan menjadi dongeng baru atau sejarah kekalahan lagi, para tokoh ini merasa sebagai orang Dayak asli yang masing-masing dari mereka bersaing dan tidak mau bersatu mengusung satu calon tunggal. Kasus paling rumit terjadi di Kalimantan Barat dimana masing-masing tokoh politik lokal ingin maju dan bersaing diantara mereka. Pada akhirnya elit Dayak kembali kalah dan kekuasaan ditingkat kabupaten dipegang etnis non Dayak lagi.
Gambaran situasi politik ini ibarat buah durian yang didalamnya terdapat sirak (bagian-bagian terpisah antara kelompok biji satu dengan yang lainnya). Secara etnis dan identitas, orang Dayak bersatu namun didalamnya terdapat kelompok-kelompok kecil yang masing-masing berjuang untuk menang. Alhasil, dibeberapa daerah kabupaten yang semestinya tokoh dayak bisa meraih kemenangan ternyata hasilnya terbalik. Orang Dayak kalah lagi, gigit jadi dan kembali dipimpin oleh etnis non Dayak. Perpecahan dikalangan Dayak sendiri membuat visi, misi dan perjuangan identitas menjadi bias, Dayak terkotak oleh sirak-sirak yang terbalut dalam kulit buah durian. Diluar tampak keras, berduri dan menyatu namun didalamnya merupakan biji-bijian yang mudah dipisahkan.

-tain odop, penulis muda Dayak, di Jogja.

Thursday, April 16, 2009

PERJUANGAN POLITIK ORANG DAYAK





Perjuangan Politik Dayak
Berbicara mengenai kiprah perpolitikan orang Dayak, rasanya kita berada didunia yang sempit namun teramat luas, mengingat tarik menarik kepentingan, primordialisme, agamisme, marjinalisasi dan realita yang amat komplek. Dayak diperkirakan mulai mengenal politik setelah kemerdekaan RI dimana beberapa putra asli Dayak mampu menjabat sebagai pimpinan tertinggi di daerahnya. Semisal di Kalteng dengan Tjilik Riwut sebagai Gubernur, atau Oevaang Oeraay, juga sebagai Gubernur pertama di Kalimantan Barat.
Pada awal-awal masa kemerdekaan, peta perpolitikan kita masih memungkinkan masyarakat Dayak untuk terlibat langsung karena ada peluang yang cukup baik untuk menduduki kursi tertinggi di daerah. Namun semejak orde baru berkuasa, kesempatan itu ditutup kembali selama lebih dari tiga dasawarsa. Kepemimpinan, akses politik dan kesempatan menjabat dipemerintahan ditutup oleh kebijakan orde baru yang sentralistik. Dayak praktis hanya sebagai penonton dan supporter yang setia ditanahnya sendiri.
Marjinalisasi politik ini diterapkan dibumi Kalimantan karena factor desentralisasi yang diterapkan oleh pemerintah pusat. Pemimpin-pemimpin daerah biasanya di drop dari pusat, dan walaupun ada pemimpin dari Kalimantan, kontaminasi dan konspirasi politik dari pusat amat dominan. Gubernur ‘pesanan’ dari Jakartalah yang biasanya memimpin Kalimantan. Di Kalimantan Barat sendiri tercatat baru dua Gubernur yang asli dari masyarakat Dayak, yakni Gubernur Pertama dan Gubernur dimasa reformasi Cornelis MH, yang menduduki jabatan 2009.
Iklim perpolitikan dimasa orde baru menekan dan menafikan kompetensi keberanian orang Dayak, kesempatan untuk terjun dipolitik praktis ditutup dan hanya dibuka untuk posisi kelas dua. Tidak heran jika orang Dayak hanya mengisi posisi sebagai wakil saja. Entah itu ditingkat satu maupun ditingkat dua. Di Kabupaten dengan dominasi masyarakat Dayak cukup dominan juga kesempatan itu tidaklah mudah, selalu saja ada konspirasi dan tarik menarik kepentingan sehingga ‘melacurkan’ identitas Dayak sebagai manusia kelas dua.
Desentralisasi pemerintahan yang semuanya terpusat di Jakarta, system kerja dipemerintahan yang ABS = Asal Bapak Senang, dengan kualitas kerja rendah dengan laporan yang wah, membuat penjajahan politik itu semakin kuat. Basis Dayak yang cukup besar pun tidak dipandang membahayakan perpolitikan lokal. Alhasil, bukannya bersaing merebut kursi pemimpin puncak dan memperjuangkan aspirasi rakyat banyak yang didapatkan, melainkan permainan-permainan yang telah diseting nyata berlaku. Rakyat pun digolongkan kedalam beberapa kasta politik dalam pemecahan basis suku, agama dan golongan kepentingan.

-tain odop, penulis muda Dayak, di Jogja.

MARGINALISASI TERHADAP ORANG DAYAK

Jika kita melihat kecenderungan iklim politik daerah di Kalimantan, katakanlah di Kalimantan Barat yang mayoritas penduduknya adalah suku Dayak (40% lebih), permainan marginalisasi ini muncul ketika pemerintah menerapkan sistem negara yang sentralistik pada zaman orde baru. Sistem yang diciptakan pusat dengan sentralistik itu telah menjadi penghalang dan penjajah secara tidak langsung. Sebetulnya bukan hanya masyarakat Dayak yang dirugikan dari penerapan sistem pemerintahan ini, hampir diseluruh Nusantara, daerah menjadi kuda pacu bagi pusat. Kekayaan daerah yang berhasil dieksplorasi oleh perusahaan-perusahaan raksasa sebagian besar hasilnya diangkut kepusat. Akibatnya daerah hanya mendapatkan bagian terkecil dari hasil industri perdagangan tersebut.

Marginalisasi oleh pemerintah pusat dimasa Orba menyebabkan daerah-daerah seperti Aceh, Kalimantan, Papua, Timor Timur, dan sebagian Sulawesi menjadi ngambang tanpa arah pembangunan yang jelas. Mereka ini ibarat bergantung pada tuan yang galak dan tidak bernurani. Setelah kekayaan mereka diambil, mereka ditinggalkan begitu saja. Adapun pengembalian kembali kekayaan kepada mereka tidaklah sebanding dengan apa yang telah diambil.

Kesalahan pemerintahan dizaman orde baru tersebut menjadi semacam bom pemicu sehingga daerah-daerah mulai berontak dan melawan. Walaupun melawan bukan dalam kontek perjuangan bersenjata, mereka mulai membuat gerakan-gerakan politik oposisi daerah untuk menjadi penggerak utama memperjuangkan hak-hak lokal. Sistem yang sentralistik dan marginalisasi itu membuat daerah-daerah kerdil. Langkah berontak yang mereka tunjukkan sedikit demi sedikit mampu menyentil pemerintah pusat sehingga pemerintah pusat sendiri mau tidak mau melunak dan mulai memperhatikan kepentingan daerah. Tetapi perhatian pusat masih dalam lingkup yang sekedar saja tanpa berusaha maksimal memberikan perhatian pembangunan dan sosial kebudayaan daerah. Akibatnya aksi berontak ini masih berlanjut dan menjadi bumerang yang membuat pusat terpinsut salah aksi. Daerah merasa dianaktirikan, bahkan dalam tatanan tertentu marginalisasi ini semakin merambah beberapa aspek kehidupan.

Beberapa hal yang menjadi kendala pengembangan daerah dimasa orde baru karena sistem pemerintah yang terpusat itu adalah sebagai berikut:

1. Potensi penghasilan daerah diangkut kepusat sehingga sumber dana daerah sangat minim. Kekuasaan selalu terpusat di Jakarta dan kebijakan juga demikian, daerah hanya sebagai pelaksana harian tanpa wewenang yang lebih besar untuk mengambil keputusan-keputusan strategis bagi kepentingan lokal.

2. Secara tidak langsung, pemerintah pusat menekan dan menjajah rakyat etnik. Semisal, orang Dayak jarang diberi kesempatan untuk mengisi posisi kunci dalam pemerintahan. Di Aceh, ketika daerah ini dinyatakan sebagai DOM Daerah Operasi Militer, orang-orang lokal tidak diberi kekebasan dalam hal berdemokrasi dan selalu dicurigai sebagai aktek-antek Gerakan Aceh Merdeka. Pemerintah menutup pintu untuk masyarakat Aceh dalam hal politik. Akhirnya, mereka berjuang minta dukungan dunia luar agar mereka bisa memegang tampuk pemerintahan daerah.

3. Kecenderungan lain yang sebetulnya tidak terbaca oleh masyarakat dari sentralisasi pemerintahan ini adalah program Javanisasi dan Islamisasi. Hampir semua program transmigrasi kedaerah melibatkan dua kekuatan ini, sehingga terjadilah silang pendapat mengenai perlu tidaknya transmigrasi. Disektor pemerintahan, aroma Javanisasi begitu kental. Dulu pusat punya kebijakan untuk mengusulkan dan menempatkan seorang pemimpin dari etnis Jawa untuk memimpin daerah.

4. Secara halus negara menjajah daerah. Ingat bagaimana ekspoloitasi dan pengaruh-pengaruhnya dari bahasan diatas tadi. Ini menunjukkan ada indikasi yang sangat dominan oleh pemerintah pusat dalam banyak urusan didaerah. Secara kasat mata pusat telah menjajah daerah tanpa memberi ruang gerak yang cukup luas bagi daerah untuk berinovasi menemukan resep pembangunan yang sesuai kebutuhan dan kultur daerahnya. Memang disisi lain daerah masih terbatas dengan beberapa sumber daya, namun karena begitu dominannya pengaruh pemerintah pusat dizaman orde baru, daerah hanya sebagai pelaksana saja tanpa mempu mengambil keputusan-keputusan besar untuk membangun daerah secara kontinue.

Pengaruh dan dominasi pemerintah pusat ini secara halus membunuh potensi-potensi lokal. Para politikus lokal yang memiliki kemampuan untuk membawa daerah menuju kesejahteraan dihambat dan dihalang-halangi. Pusat membuat sebuah sistem lingkaran yang membentengi posisi utama dalam pemerintahan. Akibatnya kekuatan politik lokal menjadi hancur. Ekonomi daerah juga menjadi kacau balau. Harga barang bisa dipengaruhi oleh keadaan ekonomi pusat. Dalam ruang lingkup bisnis, ada kecenderungan monopoli perdagangan yang dibuat sistematis dan disetting untuk menekan pertumbuhan ekonomi daerah.

Ini Semua merupakan persoalan yang kompleks sebagai akibat dari sentralisasi oleh pemerintah tersebut diatas. Marginalisasi ini terus berlanjut bahkan hampir tiga dasa warsa terutama semasa pemerintahan Suharto.


-Tain Odop

Blog Archive