Thursday, April 16, 2009

PERJUANGAN POLITIK ORANG DAYAK





Perjuangan Politik Dayak
Berbicara mengenai kiprah perpolitikan orang Dayak, rasanya kita berada didunia yang sempit namun teramat luas, mengingat tarik menarik kepentingan, primordialisme, agamisme, marjinalisasi dan realita yang amat komplek. Dayak diperkirakan mulai mengenal politik setelah kemerdekaan RI dimana beberapa putra asli Dayak mampu menjabat sebagai pimpinan tertinggi di daerahnya. Semisal di Kalteng dengan Tjilik Riwut sebagai Gubernur, atau Oevaang Oeraay, juga sebagai Gubernur pertama di Kalimantan Barat.
Pada awal-awal masa kemerdekaan, peta perpolitikan kita masih memungkinkan masyarakat Dayak untuk terlibat langsung karena ada peluang yang cukup baik untuk menduduki kursi tertinggi di daerah. Namun semejak orde baru berkuasa, kesempatan itu ditutup kembali selama lebih dari tiga dasawarsa. Kepemimpinan, akses politik dan kesempatan menjabat dipemerintahan ditutup oleh kebijakan orde baru yang sentralistik. Dayak praktis hanya sebagai penonton dan supporter yang setia ditanahnya sendiri.
Marjinalisasi politik ini diterapkan dibumi Kalimantan karena factor desentralisasi yang diterapkan oleh pemerintah pusat. Pemimpin-pemimpin daerah biasanya di drop dari pusat, dan walaupun ada pemimpin dari Kalimantan, kontaminasi dan konspirasi politik dari pusat amat dominan. Gubernur ‘pesanan’ dari Jakartalah yang biasanya memimpin Kalimantan. Di Kalimantan Barat sendiri tercatat baru dua Gubernur yang asli dari masyarakat Dayak, yakni Gubernur Pertama dan Gubernur dimasa reformasi Cornelis MH, yang menduduki jabatan 2009.
Iklim perpolitikan dimasa orde baru menekan dan menafikan kompetensi keberanian orang Dayak, kesempatan untuk terjun dipolitik praktis ditutup dan hanya dibuka untuk posisi kelas dua. Tidak heran jika orang Dayak hanya mengisi posisi sebagai wakil saja. Entah itu ditingkat satu maupun ditingkat dua. Di Kabupaten dengan dominasi masyarakat Dayak cukup dominan juga kesempatan itu tidaklah mudah, selalu saja ada konspirasi dan tarik menarik kepentingan sehingga ‘melacurkan’ identitas Dayak sebagai manusia kelas dua.
Desentralisasi pemerintahan yang semuanya terpusat di Jakarta, system kerja dipemerintahan yang ABS = Asal Bapak Senang, dengan kualitas kerja rendah dengan laporan yang wah, membuat penjajahan politik itu semakin kuat. Basis Dayak yang cukup besar pun tidak dipandang membahayakan perpolitikan lokal. Alhasil, bukannya bersaing merebut kursi pemimpin puncak dan memperjuangkan aspirasi rakyat banyak yang didapatkan, melainkan permainan-permainan yang telah diseting nyata berlaku. Rakyat pun digolongkan kedalam beberapa kasta politik dalam pemecahan basis suku, agama dan golongan kepentingan.

-tain odop, penulis muda Dayak, di Jogja.

No comments:

Blog Archive