Saturday, May 2, 2009

Politik Rasis di Kalbar



Kepentingan utama yang selama ini tidak bisa dipisahkan dari isu perpolitikan di Kalimantan adalah kepentingan antara masing-masing suku. Ketika berbicara mengenai hal ini, bias kepentingan unum menjadi tidak fokus lagi, masing-masing tokoh akan menampilkan ego sukuismenya masing-masing. Kebudayaan politik primordial ini berkembang sejak zaman dahulu bahkan sebelum Indonesia merdeka ketika kerajaan-kerajaan di Kalimantan mulai berkuasa. Ras atau suku Melayu, Dayak, Cina (Tionghoa), yang notabene penghuni awal pulau Kalimantan, terutama Dayak dan Melayu masing-masing sudah sikut-sikutan dalam perjuangan identitas politik. Kerajaan Melayu yang menyebut dirinya Kesultanan Melayu sering menarik pajak dari masyarakat Dayak dimasa itu. Dayak tidak mempunyai kekuatan dalam struktur kesultanan karena dalam tradisinya orang Dayak tidak mengenal Kerajaan. Yang ada adalah struktur adat kampung dimana ketua adat, domong, pateh/patih dianggap sebagai orang paling berpengaruh dikampung. Rumah betang menjadi tempat utama mereka bersosialisasi, berpolitik, berbudaya dalam kesehariannya.
Ketika kerajaan-kerajaan Melayu berkuasa didaerah pesisir pantai dan muara sungai, masyarakat Dayak acap kali dijadikan sebagai ulun/kuli oleh penguasa kesultanan Melayu. Setiap tahun raja menarik hasil bumi dan hutan kepada orang Dayak melalui Domong dan Pateh suruhannya. Orang Dayak tidak bisa berontak karena struktur politik kerajaan yang diseting sedemikian rupa melalui aturan-aturan kesultanan yang cukup kejam. Walaupun secara teritori kesultanan Melayu tidak mempunyai kekuasaan utuh terhadap perkampungan Dayak, namun dalam beberapa hal pengaruh politik itu amat kuat.
Kesombongan dan keangkuhan kesultanan Melayu amat kuat sehingga mereka merasa sebagai saudara paling tua dan paling berkuasa. Akibatnya, orang Dayak semakin menjadi bagian kelas dua dan makin terpinggirkan. Ketika agama Islam mulai masuk kepulau Kalimantan, pengaruh ini semakin menjadi-jadi, pengotakan suku dan agama lebih kuat, simbol-simbol tertentu dalam kontek suku dan agama menjadi bagian dari sebuah identitas politik.
Pada era perjuangan merebut kemerdekaan dibawah kesatuan Nusantara, orang-orang Dayak dengan para panglima saktinya juga turut serta dimedan laga. Beberapa pejuang lokal tersebut bermandikan darah, menyerahkan nyawa demi kemerdekaan Indonesia. Masing-masing pahlawan dan pejuang Dayak yang sakti dan kebal bersatu, membaur dengan orang-orang Melayu untuk melawan penjajahan Jepang dan Belanda kala itu.
Setelah penjajahan berakhir dan Indonesia merdeka, kekuasaan daerah dengan struktur pemerintahan dibentuk sebagai NKRI, beberapa propinsi seperti Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat pada awalnya dipimpin oleh orang Dayak. Sebagai suku terbesar di Kalimantan, Dayak dipandang cukup kuat kala itu. Pengaruh Dayak masih didengar di Jakarta, bahkan oleh Presiden Sukarno Kalimantan Tengah sempat akan dijadikan pusat pemerintahan NKRI.
Perjuangan politik orang Dayak kembali meredup dan bahkan padam ketika orde lama digulingkan oleh kekuasaan Suharto dimasa Orde Baru. Suharto dengan tangan besinya memimpin Indonesia dan membuat kebijakan pemerintah yang sentralistik terpusat pada Jakarta. Seluruh daerah di Indonesia menjadi sapi perah bagi kekuasaan Jakarta. Situasi ini menguntungkan politik keagamaan bagi elit politik Melayu. Melayu yang notabene pemeluk Islam mengambil kesempatan seluas-luasnya untuk menguasai struktur pemerintahan daerah dan merebutnya dari kalangan Dayak. Persis semejak orde baru berkuasa kepemimpinan di Kalimantan diambil alih oleh orang Melayu dan Jawa yang sudah barang tentu memeluk agama Islam.
Era gelap bagi kepemimpinan dan kesempatan politik Dayak kembali terjadi. Kekuasaan pemerintah daerah kental dalam permainan kepentingan suku dan agama. Perekrutan tenaga kerja negeri, pembangunan infrastruktur, kesempatan dibidang pendidikan, pembangunan jalan dan penerangan, pergerakan ekonomi menjadi mandeg dan tidak berkembang. Dayak kembali menjadi mainan politik dan boneka kekuasaan. Suara orang Dayak hanya dipakai dikala pilkada, itupun untuk meluruskan jalan kekuasaan. Tokoh Dayak hanya sebagai pendamping dalam tiap even pemilihan kader daerah tanpa pernah memiliki kesempatan diurutan pertama perpolitikan. Partai-partai yang berkuasa kala itu merupakan biang kerok sistem yang rusak bagi tokoh Dayak. Posisi elit partai politik diisi oleh orang non Dayak sehingga otomatis menutup kesempatan Dayak untuk mengusung calon sebagai pemimpin daerahnya.
Tarik menarik kepentingan dalam balutan suku dan agama ini berlangsung lama semejak kekuasaan Suharto berjalan, orang Dayak sekali lagi hanyalah sebagai pelengkap alat politik layaknya orang Tionghoa, Batak, Banjar, Madura dan Bugis. Jawa dan Melayu mengambil alih kekuasaan puncak dan memegangnya dengan erat sehingga kesempatan untuk suku lain amat tertutup. Sentralisasi kebijakan, partai terpusat yang dikuasai oleh Golkar dan isu agama manjur diterapkan di bumi Kalimantan. Dayak lagi-lagi terpinggirkan dan hanya menjadi penggembira.
Masa cerah perpolitikan Dayak Kalimantan kembali hadir setelah pemerintahan orde baru berakhir dengan digulingkannya presiden Suharto dari tampuk pemerintah Indonesia. Dizaman yang dikenal sebagai Era Reformasi ini, peluang dan kesempatan itu muncul lagi. Reformasi yang terjadi di Indonesia memungkinkan sistem pemerintahan daerah juga berubah, peta politik juga mulai terbuka dengan tokoh-tokoh elit lokal yang semakin banyak. Parpol yang menjadi pintu masuk bagi tokoh lokal untuk memimpin daerahnya kembali terbuka. Golkar tidak lagi sebagai partai yang bertangan besi karena ada partai pesaingnya seperti PDIP, Demokrat, PDI, PPP, PDS, dan partai-partai kecil lain. Persaingan kembali muncul dan kesempatan semakin terbuka. Zaman reformasi juga memberi kesempatan kepada etnis diluar Melayu, Dayak dan Jawa untuk berkompetisi. Tionghoa, Madura, dan Batak juga berkesempatan untuk tampil dipanggung politik. Di Kalbar wakil Gubernur dimasa reformasi berasal dari entis Tionghoa yang merupakan sejarah baru dapal catatan politik Kalimantan bahkan mungkin di Indonesia.
Hasil pemilihan Gubernur cukup membanggakan bagi sejarah perpolitikan orang Dayak, di Kalimantan Tengah tercatat nama Teras narang, di Kalimantan Barat muncul Cornelis MH dengan wakilnya dari etnis Tionghoa. Bak perubahan politik yang besar, dibeberapa daerah kabupaten mulai bermunculan tokoh-tokoh politik dari kalangan etnis Dayak, beberapa diantaranya mampu menang dalam Pilbup beberapa tentu saja tidak.

Identitas Politik DAYAK Bagai Buah Durian
Dimasa reformasi dimana kesempatan untuk terjun dipanggung politik lokal makin terbuka, tokoh-tokoh Dayak bermunculan dan masing-masing ingin menjadi pemimpin nomor satu. Entah apakah ini akan menjadi dongeng baru atau sejarah kekalahan lagi, para tokoh ini merasa sebagai orang Dayak asli yang masing-masing dari mereka bersaing dan tidak mau bersatu mengusung satu calon tunggal. Kasus paling rumit terjadi di Kalimantan Barat dimana masing-masing tokoh politik lokal ingin maju dan bersaing diantara mereka. Pada akhirnya elit Dayak kembali kalah dan kekuasaan ditingkat kabupaten dipegang etnis non Dayak lagi.
Gambaran situasi politik ini ibarat buah durian yang didalamnya terdapat sirak (bagian-bagian terpisah antara kelompok biji satu dengan yang lainnya). Secara etnis dan identitas, orang Dayak bersatu namun didalamnya terdapat kelompok-kelompok kecil yang masing-masing berjuang untuk menang. Alhasil, dibeberapa daerah kabupaten yang semestinya tokoh dayak bisa meraih kemenangan ternyata hasilnya terbalik. Orang Dayak kalah lagi, gigit jadi dan kembali dipimpin oleh etnis non Dayak. Perpecahan dikalangan Dayak sendiri membuat visi, misi dan perjuangan identitas menjadi bias, Dayak terkotak oleh sirak-sirak yang terbalut dalam kulit buah durian. Diluar tampak keras, berduri dan menyatu namun didalamnya merupakan biji-bijian yang mudah dipisahkan.

-tain odop, penulis muda Dayak, di Jogja.

1 comment:

Anonymous said...

Dizaman yg semakin modern ada baiknya kita membuka pikiran yg lebih luas khususnya bagi kaum intelek supaya dapat bersaing secara global dan tidak jalan ditempat. Diindonesia sendiri, khususnya kalimantan barat tidak hanya ada orang dayak, melayu, tionghoa dll. Bahkan didunia saja masih diragukan suku mana yg menjadi manusia pertama. Menjadi pemimpin bukan perkara kamu dari suku apa dan agama apa, melainkan capable menjadi seorang pemimpin. Seperti semboyan NKRI bhinneka tunggal ika.
Jujur, saya masyarakat asli kalbar dan saya bukan dayak dan saya menerima siapapun untuk menjadi seorang pemimpin tidak memandang dari suku dan agama apapun. Kenapa saya katakan asli? Karna moyang dari moyang saya memang lahir, tumbuh dan tinggal di kalbar. BE WISE!

Blog Archive