Setiap tahunnya, jumlah calon mahasiswa dari tanah Kalimantan yang menempuh pendidikan di Jogjakarta semakin meningkat. Secara statistik itu menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat kita “Dayak” untuk sekolah bertambah tinggi. Dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu, jumlah mahasiswa asal Kalimantan belumlah sebanyak yang sekarang ini. Mungkin ini ekses dari kesadaran moral yang terjadi ketika realitas persoalan pembangunan di daerah kita masih jauh dari “pelupuk mata”.
Alasan itu bisa dibenarkan, namun juga tidak menutup kemungkinan ada alasan lain yang hanya untuk mengalahkan perasaan gengsi saja. Berdasarkan hasil survei BETANG pada para mahasiswa yang studi di Yogyakarta, sebagian besar menyatakan bahwa alasan mereka untuk melanjutkan sekolah keperguruan tinggi adalah supaya bisa memperoleh ilmu pengetahuan yang kelak bisa diterapkan untuk membangun tanah airnya, karena ada kesan selama ini daerah kita jauh dari standar pembangunan.
Logis memang. Sekolah memang perlu motivasi, tanpa itu ibaratkan perahu tanpa layar. Dalam paradigma berpikir masyarakat kita, sekolah setinggi-tingginya masih dianggap sebagai hal yang sangat istimewa, butuh uang banyak, sehingga membuat enggan bagi orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Zaman semakin berkembang, arus teknologi dan komunikasi semakin menjamah setiap sendi-sendi kehidupan manusia. Yah, itulah yang namanya era globalisasi, kita dituntut harus mampu mengambil sikap dalam menentukan sebuah pilihan hidup.
Ada kesan “kental” yang mengindentikkan “Dayak” sebagai suatu yang berbau primitif, kuno, dan konservatif. Lalu muncul sebuah pertanyaan, apakah kita akan terus menerus menjadi buaian stigmatisasi tersebut? Orang tua kita masih seringkali berfikir instan, ketika harus mengambil sebuah keputusan antara memanfaatkan uang untuk kepentingan sekolah atau untuk kepentingan lainnya, masih cenderung memilih sesuatu kepentingan yang sifatnya investasi material.
Berbagai keluhan yang dirasakan oleh putra-putri asal KalBar, ketika pulang kampung. Apa yang dikeluhkan? Rupa-rupanya sebongkah pertanyaan, yang mempersoalkan mau kemana setamat sekolah nanti? Ya, soal pekerjaan. Apakah bisa memberi kepastian bisa bekerja dan hidup enak suatu kelak. Yaaa, mungkin itu juga yang menjadi alasan orang tua kita berfikir dua tiga kali untuk menyekolahkan anak-anaknye, ini fakta yang terjadi, dan menjadi beban moral. Trus, piye, kepriben, how, kenanihlah, gimane? Ini yang harus kita cari jalan keluarnya, atau populerkan saja slogan: Buat apa capek-capek sekolah, toh nanti jadi pengangguran.
Gian bah!!!
Sumber Majalah Betang
Sumber Majalah Betang
No comments:
Post a Comment